Waktu kecil, saya disekolahkan di sekolah Katolik St. Carolus oleh ibu-bapak saya.
Setiap hari Senin, saya ikut masuk Gereja, menemani teman2 menjalani Misa rutin sekolah.
Doa-doa seperti Bapa-Kami, Salam Maria, dsb saya hafal sekali. Bahkan yang versi bahasa Inggris ๐
Saya menikmati sekali masa-masa itu. What I like the most from those life moments: My Friends. Asik dan tulus dalam berteman.
—
Kenapa ibu-bapak saya tidak takut saya terpengaruh atau bahkan tertarik mengikuti kepercayaan yang dianut teman-teman saya yang 99% nasrani itu?
Bahkan ibu-bapak saya tidak meminta dispensasi ke sekolah agar saya tidak mengikuti Misa mingguan yang selalu saya ikuti dengan suka-cita.
Saya jawab dengan pertanyaan lagi: kenapa kita harus merasa ‘insecure‘ dengan agama kita? ๐
—
Setiap hari minggu, 2 minggu sekali atau 1 bulan sekali, saya ikut pengajian di pesantren yang kebetulan bapak saya ikut menjadi salah satu pengurus di sana: Pesantren Al-Fitrah, di Kedinding, Surabaya.
Saya juga menikmati sekali masa-masa itu. Pertama kalinya saya mengenal dan menggunakan langsung istilah Kyai (Yayi biasanya nyebutnya), Habib, Ustad, adalah di pesantren itu. “di Pondok”, kalau bapak saya biasa menyebut.
Bersyukur sekali, saya bertemu dengan lingkungan itu. Lingkungan yang dipimpin oleh seseorang yang memiliki kharisma luar biasa besar, namun tetap ‘menunduk’.
Dengan kharisma dan massa yg besar seperti itu, tidak pernah satu kalipun beliau merasa lebih tinggi dan lebih baik dari yg lain. Di setiap pengajiannya pun, kalimatnya selalu diawali dengan ‘kulo kalih sampean’, instead of ‘kalian itu’.
Saya tidak ‘berani’ dan tidak ingin menyebut nama beliau (alm) di sini, googling saja tentang pesantren tersebut, pasti tersebutkan namanya. Satu-satunya orang selain ibu saya yang bisa membuat saya menangis karena merasa ‘kecil’, saat berdoa.
—
And everything was fine, back then ๐
Saya belajar dari semuanya. Saya mengambil setiap momen yang ada, di semua sisi kehidupan saya waktu itu untuk bekal saya di masa depan.
Saya tidak pernah menduga, kalau masa depan yang saya alami sekarang ini, jauh berbeda dengan apa yang saya alami dan bayangkan dulu.
Jujur, saya khawatir dengan lingkungan yang akan didiami oleh anak2 saya nanti, saat mereka sudah mulai besar.
Saya sangat mendambakan mereka bisa seperti saya dan kakak saya waktu kecil dulu, bebas berteman dan asik bersahabat dengan siapa saja, tanpa perlu memandang agamanya.
—
Agama itu milik pribadi. Itu bukan suatu identitas yang perlu ditonjolkan dan dipertontonkan.
Itu kenapa saya tidak pernah sekalipun ‘ngomong agama’ di media sosial, kecuali untuk perayaan dan memberi ucapan selamat ๐
—
Yang mengaku islam, ulama, ustad, dsb, tapi perilakunya berbeda jauh dengan apa yang saya temui dulu sewaktu kecil.
Entah apa yang sebenarnya mereka kejar. Entah seberapa dalam mereka belajar.
Saya bukan penghafal Qur’an. Bukan juga orang yang fasih dengan Hadist. Tapi saya meyakini satu hal yang sangat mendasar: apa yang mereka teriak-teriakkan itu bukan Islam yang saya kenal ๐
—
Sedikit saran dari saya, belajar lah agama dari orang-orang yang jauh dari hingar-bingar media, apapun itu.
—
To all my friends, specially to all my St. Carolus friends, I wish you a very merry Xmas! Salam hormat untuk keluarga ๐
Have yourself a merry little christmas. Salah satu lagu natal favorit saya.
Selalu saya putar di saat-saat seperti ini, sambil mengenang keceriaan teman-teman berseragam celana pendek abu-abu dan rok kotak-kotak bewarna merah-hitam ๐
Lauren Daigle – Have Yourself A Merry Little Christmas
Actually, this is my favourite version of this song ๐
*tulisan ini adalah celoteh saya di facebook saat natal tahun 2017 kemarin. ditulis di tengah situasi di mana beberapa kelompok berlabel agama mayoritas di negari ini sedang ‘merasa sangat superior’ dengan agama-nya. bisa di lihat di sini.