Our choices now, are just way too many
Dulu, kita bisa dengan mudah mengingat nama-nama icon yang terkenal. Terutama yang terkenal di jaman sebelum tahun 2000.
Nama-nama seperti Elvis Presley, The Beatles, Queen, Michael Landon, Julie Andrews, Chrisye, U2, Mr Big, David Foster, Earth Wind and Fire, Iwan Fals, Krakatau, Warkop DKI, semua dengan mudah masih kita ingat.
Khusus untuk lagu. Saya bahkan bisa mengenali lagu dan bisa menyebut dengan lengkap judul lagu dan nama band/penyanyinya hanya dengan mendengarkan maksimal 3 nada awal dari lagu-lagu tersebut 🙂
Tapi itu khusus lagu-lagu lama. Sejak sekitar tahun 2000’an, pertumbuhan jumlah musisi dan lagu baru menjadi too overwhelmed bagi saya.
Jaman saya masih duduk di bangku sekolah dulu, para musisi bisa banyak berharap memiliki album yang menjadi hits. Sekarang? Bisa membuat 1 hit single saja, sudah harus bersyukur sekali di era sekarang ini.
Penyebabnya mungkin:
- Pilihan lagu yang semakin banyak. Arus akses masing-masing lagu tersebut untuk sampai ke telinga pendengarnya pun makin mudah. Dulu mungkin sangat bergantung pada label.
- Digitalisasi lagu membuat pola kita mendengarkan lagu berubah menjadi lagu-per-lagu, dan dengan mudah berganti ‘playlist‘. Jaman masih kaset dulu, kita ‘dipaksa’ dan terbiasa untuk mendengarkan 1 kaset atau 1 album penuh. Minimal, kita akan berhenti setelah side-A atau side-B.
Di industri film dan tv juga.
Terlepas dari faktor kesibukan, susah sekali bagi saya untuk bisa mengingat, atau bahkan mengenal, nama-nama aktor dan aktris layar kaca yang muncul semenjak pertengahan dekade 2000’an. There are just so many of them. Too much…
But wait… tidak hanya industri hiburan yang mengalami pertumbuhan supply yang masif. Perkembangan teknologi membuat nyaris seluruh sektor industri juga berubah menjadi padat, penuh-sesak dengan ‘supply‘, juga ‘demand‘.
Selain di industri hiburan, kita juga bisa dengan mudah mengamati tingkat ‘kepadatan’ ini di industri kuliner.
Di setiap kota pasti sama. Industri kuliner bertumbuh pesat. Yang sering tidak kita sadari, kalimat tersebut sebenarnya lebih banyak pointing to sisi supply-nya.
Jumlah resto-warung-cafe-coffeeshop-angkringan-burjo saat ini sudah menjadi sangat banyak. Sedangkan, di sisi lain, pertumbuhan jumlah penduduk (dan generasi konsumtif-nya) tidak akan cukup untuk terus membuatnya bisa selalu mencapai Break Event Point dan untung secara sustainable.
I think, semua industri kurang lebih sama statusnya.
When our earliest ancestors wondered, “What’s for dinner?”
the answer was clear:
It was whatever the neighbourhood could run down, kill and bring back to the cave.
Red meat? White meat? There was only one choice;
it was a simpler time.”
Differentiate or Die – Jack Trout
Banyak hal yang sudah berubah. Bahkan sejak mendiang Jack Trout menuliskan kalimat tersebut di bukunya. Everything is just a click away now…
Membuat rencana bisnis untuk jangka panjang (hingga 10 tahun), sudah menjadi benar-benar tidak relevan lagi saat ini.
– – – 00 – – –
Tidak perlu berjuang membuat merek yang melegenda
Dulu, di Jogja pernah ada warung mie ayam bandung yang sempat terkenal (namanya tidak saya sebutkan ya).
Berkembang cepat. Buka cabang banyak di Jogja. Tapi tidak butuh waktu lama juga untuk kemudian meredup, hingga akhirnya tutup, satu-per-satu.
Ada teman saya yang berkomentar: “Kenapa dia ngga njaga ‘euforia’ warungnya supaya bisa bertahan lebih lama ya?”.
Kalau kita sadari, membuat usia hidup produk kuliner untuk bisa bertahan lama itu saat ini sudah berat sekali. Mungkin sang pemilik menyadari hal tersebut.
Tingkat persaingan di industri kuliner saat ini sudah terlalu tinggi. Dan tidak ada hal logis yang akan membuat tingkat persaingan itu menjadi turun.
Mungkin kita sudah tidak bisa lagi menemukan ada resto/warung yang bisa menjadi merek legendaris seperti Pizza Hut, KFC, Gudeg Yu Jum, Bakmi Mbah Mo, Bakmi GM, dsb.
Di industri musik juga sama. Kita sepertinya tidak bisa lagi menemukan penyanyi-penyanyi sekaliber Iwan Fals, Chrisye, Ruth Sahanaya, Marvin Gaye, Stevie Wonder, Al-Jarreau, Aretha Franklin, Michael Jackson, Whitney Houston, Celine Dion, atau group/band sekelas Krakatau, Dewa19, Gigi, Slank, Kahitna, Queen, Kiss, Dream Theatre, Manhattan Transfer, Earth Wind and Fire, Casiopea, FourPlay, Mr Big, U2, atau musisi dengan bakat dan pengaruh yang luar biasa seperti David Foster, Dave Koz, dsb.
Jangan khawatir. We don’t need to make one. Industri-nya sekarang (apapun itu, mostly), memang sudah tidak mengijinkan itu terjadi.
Jangan terlalu fokus memikirkan bagaimana cara bisnis kita bisa berkembang dan bertahan hingga kurun waktu yang lama seperti para pendahulu. Sudut pandang itu sudah saatnya berubah. Kita tidak perlu lagi (terlalu) berusaha untuk membuat usaha kita dapat bertahan lama dan menjadi legenda 🙂
Layaknya para penyanyi/band jaman dulu yang berstatus ‘one-hit-wonder‘ seperti Paula Cole yang ‘hanya’ terkenal dengan 1 single hitnya (*I don’t want to wait, OST Dawson’s Creek), kita cukup berusaha agar produk/jasa kita itu menjadi hits pada saat itu, sambil terus mencoba membuat yang lain dan hingga pada saatnya, membuat yang lain itu menjadi yang utama. Terus dan terus seperti itu.
Kuncinya adalah harus selalu bisa dan siap menciptakan ‘lagu-lagu’ hit baru yang sudah pasti akan disukai oleh para pendengarnya, setiap trend berubah.
— Arya Dhiratara
Jadi saya jawab teman saya itu begini: “lho, bisnisnya yang satu itu mungkin ga bisa bertahan lama. tapi kalau manajemen keuangannya bagus, dirinya sebagai pebisnis, tetap bisa bertahan lama kan..?”.
– – – 00 – – –